Monday, June 27, 2016

Batas di Tepi Pantai



Kerasnya batu karang memecah gulungan ombak, membawa serta pasir pantai dan serpihan-serpihan kerang putih.Angin laut menyeka disela-sela rambut lurusku. Anak-anak pantai berlarian dengan tawa lepas mereka. Kupandangi alam sekitar, tapi tak kutemukan sosok indah yang kucari. Karena sosok itu baru saja pergi, meninggalkan bekas yang teramat jelas.

Rio memilih untuk mengakhiri hubungan kami, karena saat ini ia telah pergi meninggalkan Negara kepulauan ini. Setelah beberapa tahun kita menjalin hubungan, setelah ia mengukir sejuta kenangan manis bersamaku dan setelah ia jadikan hari-hariku penuh dengan tawa. Pagi tadi ia akhiri semuanya begitu saja, dengan alasan jarak dan waktu yang membuat kita terpisah jauh.  Bukankah diluar sana ada banyak hubungan yang bertahan meski dibatasi waktu dan jarak, bukankah cinta itu tidak mengenal seberapa dekat jarak dan seberapa waktu yang bisa selalu kita lewati bersama-sama.

Kini hanya aku yang berjalan sendiri, disepanjang jajaran pohon kelapa yang selalu Nampak tegar saat angin kencang berusaha menumbangkan akar tangguhnya. Tak adalagi yang membuat kulelah berlarian, tak ada lagi yang akan mengajakku untuk bermain membelah laut dengan jet ski yang biasa terparkir dipinggir pantai. Kini hanya aku seorang yang duduk dipondok pantai untuk menikmati segarnya air kelapa dengan gula aren kesukaan kami. Kenangan-kenangan itu terperangkap dalam fikiranku,  tanpa kutau apakah Rio pun sedang mengingat hal yang sama denganku menjelang keberangkatannya.

Kecewa yang kurasakan tidak akan sesakit ini jika ia hanya meninggalkan ragaku disini, tapi nyatanya dia juga ikut meninggalkan cintaku. Mengubur cinta kami yang telah tumbuh dengan harapan yang besar, harapan untuk bias saling mencintai sampai waktu benar-benar telah cukup untuk kami berdua.
Tapi akupun tidak sanggup mencegah kepergiannya, aku hanya berusaha berfikir jika inilah pilihan yang terbaik untuknya dan untukku. Mungkin dia takut akan lebih mengecewakan perasaanku lagi, dan takut menyiksaku jika aku terikat dalam kesepian nantinya. Ia lebih merelakan untuk melepasaku sekarang, karna mungkin dia takkan pernah kembali lagi untuk menemuiku. Dia akan menetap dinegara kelahiran ayahnya, negeri kincir angin.
***

Satu tahun sudah kulalui hari-hariku sendiri, tidak ada satupun pengganti yang bias menemani hariku seperti Rio yang membuat hariku dipenuhi oleh warna-warni kehidupan. Namun keajaiban kini berpihak kepadaku.
“Nadia, nanti malam aku jemput jam 7 ya, aku rindu pantai dan cintaku.”
Laki-laki itu tiba-tiba muncul dihadapanku, meski aku tak sempat menjawab pertanyaannya karena harus segera menemui klien.Tapi aku tau benar dia siapa, laki-laki yang selama ini mengakar didalam hatiku, yang selama ini selalu kutunggu kedatangannya ditepi pantai bersama matahari saat ia akan tenggelam.

Aku merasa sangat bahagia malam ini, semoga saja apa yang terjadi tadi siang bukan hanya sekedar mimpi. Aku berusaha tampil secantik mungkin dengan gaun berwarna merah maroon  pemberian darinya saat ulang tahunku yang ke 22. Suara klakson mobil yang sudah lama takku dengar membuatku segera bergegas menuruni anak tangga dan membukakan pintu untuk melihat kedatangannya.

Aku hampir tak percaya, saat ini ia sedang menuntunku menuju pantai. Kedua mataku ditutup dengan kain, sepertinya Rio mempunyai kejutan besar untukku. Benar-benar malam yang istimewa, dengan rapinya ia membuat tatanan lilin yang membentuk kata I love you diatas pasir pantai. Dan ia sengaja menyiapkan hidangan kesukaanku dengan dekorasi serba putih lengkap dengan mawar favoritku. Semuanya tampak semakin sempurna dengan beberapa pemusik yang mulai mengalunkan lagu romantic favorit kami berdua diiringi kecapi dan biolanya.

Sungguh hari yang sangat kunantikan, sejak malam itu kami lebih sering menghabiskan waktu berdua. Menikmati kesegaran es kelapa dengan manisnya gula aren, berlarian bersama anak-anak pantai dan sesekali saling melempar air laut yang sangat asin jika tersentuh lidah. Aku kembali mendapatkan senyumku, bahagiaku, dan cinta yang lama meninggalkanku.

Hingga suatu sore dicafe yang sudah tak berpengunjung, aku sengaja ingin menyanyikannya sebuah lagu untuknya dengan iringan gitar yang sudah lama aku persiapkan. Aku menaiki panggung dan ia menyaksikanku layaknya pengunjung café yang kagum akan penampilanku. Tapi laguku belum selesai, tiba-tiba ia menghilang dari hadapanku. Seperti saat pertama tiba-tiba ia menyapaku setelah sekian lama takku jumpai dirinya. Tanpa aku perintah air mataku mengalir deras menuruni lekuk-lekuk wajahku yang kini tampak pucat.

Aku terlalu besar berharap untuk dia ada disampingku saat ini, aku hampir gila dengan imajinasi-imajinasiku yang menyiksa ahir-ahir ini.Dimulai dari siang itu, sebenarnya tak ada satu orang pun yang menyapa dan berkata rindu akan cinta dan pantainya padaku. Malam itu hanya ada aku sendiri menikmati alunan musik yang telah lama aku rindukan. Hari-hariku pun masih sendiri, Meneguk air kelapa campuran gula aren seorang diri, berlarian dengan anak-anak pantai dengan memasang senyum dan kebahagiaan palsu.

Semuanya terjadi setelah siang yang aku imajinasikan dengan sapaannya yang fana, saat itu aku baru saja kabur dari rumah sakit karna teringat dengan janjiku bersama klien penting.Tapi akupun baru saja berusaha melupakan sebuah kejadian sebelum aku sendiri dibawa lari kerumah sakit karna keadaanku yang tiba-tiba menurun drastis. Kejadian yang benar-benar tak dapata kusangkal lagi saat ini. Beberapa jam sebelum aku menuju rumah sakit, orang tua dari Rio dating menemuiku. Mereka menceritakan semua yang tidak aku ketahui selama ini, Rio pergi bersama keluarganya karena ingin menyembuhkan penyakit kanker darah yang dideritanya. Ia takut jika usahanya itu tetap tidak berhasil, hingga ia tega memberiku alas an jarak dan waktu untuk memutuskan hubungan kita berdua.

Namun ketakutannya benar terjadi, dua hari yang lalu Rio pergi untuk selamanya.Tanpa memberiku salam terahir, tanpa memberiku sebuah kejujuran dan tanpa mengucapkan kata cinta terahir dari mulutnya. Semua ini begitu menyakitkan, tak sedikit kusalahkan diriku sendiri yang tak bias membaca maksud sebenernya dari laki-laki yang teramat aku cintai. Namun semua itu hanyalah tinggal sebingkai cerita manis, kan kubawa cinta ini kemanapun aku pergi. Hingga waktu menyatukan kita kembali di kekekalan kelak. Aku gadis pantai yang selalu menemanimu jika kau tampak diatas sana, bersama jutaan bintang yang salut akan kesucian cintamu. Aku gadis pantai yang menunggu akan runtuhnya jarak dan waktu untuk kembalinya kebersamaan kita, dibatas tepi pantai.


By : Z


Janji di Bukit Anyelir


Sore hari dalam tatapan senja, sinar jingga yang mencuat dari balik helai daun jati, membias ke rumput yang mulai keriput. Jajaran semut merah tak luput dari keajaiban ronanya. Seorang  gadis terlihat duduk di pelataran rumah dengan bunga anyelir yang tumbuh dimana-mana, namun tetap tertata rapi. Ia menatap dua burung gereja yang bermain diatas kerikil. Saling mencicit, seperti sedang bahagia diatas kelabunya. Lalu beralih pada semut-semut merah yang bergotong royong membawa bangkai kupu-kupu,merekapun dirasai sedang menertawakan kelam harinya. Fikirannya melayang ke tiga tahun silam. Saat dimana gadis yang bernama Remay tersebut, untuk pertama kalinya mengurai air mata karena seorang lelaki yang selain keluarganya.
“Selamat pagi May”, sapa seorang lelaki berambut lurus, dengan kumis tipis serta senyum lebar yang menggambarkan karakter penuh semangat. “Pagi Dho, tumben dateng lebih pagi” balasku dengan senyum ringan. Ridho, laki-laki yang dikenal dengan sifat supel dan kerja kerasnya. Meski prestasi dalam akademiknya tidak begitu gemilang, tapi Ridho tidak seperti siswa lain yang hanya menerima kenyataan bahwa memang secukup itulah kemampuannya. Dengan semangatnya Ridho selalu gigih mengukir sedikit demi sedikit prestasi yang mampu dicapainya. Tapi, tetap tak sampai menyaingi prestasi dari Remay, yang dikenal sebagai salah satu siswi dengan prestasi tinggi di sekolahnya. 
“May, kamu mau kan bantu aku memahami BAB ini, susah sekali may untuk kupelajari sendiri”, timpal Ridho sambil menunjukkan salah satu BAB di buku Matematika yang memang dinilai paling sulit oleh siswa kebanyakan. “Mmm..bisa, semampuku yaa. Tapi gak sekarang, jadwalku piket ni” jawab May sambil terus berjalan menuju kelas yang terletak paling ujung dilorong yang beralaskan keramik putih. “Oke, istirahat nanti aku tunggu dikantin ya” senyum Ridho menjelaskan permintaannya.
“Cieee ehm” sepintas terdengar celetukan teman satu kelas Ridho yang seolah meledek obrolan kedua insan tersebut. Tapi entah sejak kapan senyum ringan yang tersimpul di bibir May tak kunjung luput meski telah jauh meninggalkan teman mengobrolnya pagi ini. Ada perasaan aneh yang menyelinap dihati May, seperti senang namun sedikit takut. Baru pertama  kalinya May merasakan perasaan aneh yang tak terdefinisikan. Padahal ia sudah berkali-kali bertemu dengan sosok laki-laki itu. Mungkin waktu yang perlahan menunjukkan bahwa May diam-diam mulai memuji, mengagumi, lalu kemudian memiliki rasa yang aneh setiap dekat maupun setiap mengingat sosok laki-laki tersebut. Tanpa May sadari, ia mulai lupa dengan kabut yang selama ini menyelimutinya. “Selamat pagi cantiik !”, suara yang tak asing mengagetkan May dan segera meluputkan senyum ringan yang terus mengembang di wajah mungil May. “Ya ampun Dewi, kebiasaan ni ya kalo ada maunya aja ngelemparin rayuan dangkal” gerutu May yang mengerti gelagat sahabatnya tersebut. Dewi adalah salah satu dari dua sahabat Remay, satunya lagi bernama Ayu. Tiga sahabat yang begitu dekat, kemanapun mereka pergi, tak pernah ada yang hilang satu bagianpun dari kesatuan tersebut. Itulah keluarga kecil mereka, seperti keluarga kedua. Tempat yang nyaman untuk saling berbagi,mengadu, bermain, belajar, dan segala hal yang membuat mereka semakin sulit untuk terpisahkan. “Hehe, maaf si. PR Matematika pasti udah selesai kan, semalem gue capek banget abis ngurusin acara ibu-ibu tu, biasa”. “Yaudah ni, besok mau alesan apa lagi ? sunatan adek loe ?” Remay menyerahkan buku A5 yang tersampul rapi dengan kertas coklat. “Yaampun May, tega banget, adek gue kan cewek, alesan lain lah. Haha”. Dewi selalu punya banyak alasan untuk tidak mengerjakan PR, apalagi Matematika. Dengan materi yang sulit ditambah guru yang lumayan killer, semakin membuat beberapa siswa enggan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Tidak lain dengan Ayu, “Remaaay !, hampir aja gue telat, PR mana PR ?”, dengan wajah paniknya tanpa basa basi Ayu langsung duduk disebelah Dewi dan ikut menyalin tugas dari buku May. May hanya menarik nafas maklum dengan tingkah laku kedua sahabatnya tersebut.
“Aduh gila ngantuk banget gue dengerin sejarah yang gak pernah berubah”. Ayu beranjak dari tempat duduk dan merenggangkan tangannya yang kesemutan karena digunakan sebagai bantal. “Eh gue ke kantin duluan ya, ada urusan nih” Remay buru-buru membereskan bukunya dan beranjak menuju kantin sekolah. “Kenapa tu anak, kekantin aja jarang sekarang malah buru-buru”. Dewi dan Ayu menatap May kebingungan.
            Pandangan May menyapu seluruh sudut kantin, belum juga ia menemukan apa yang dicari. Tak lama kemudian, seseorang menepuk bahu May dari belakang. “Hai May, nyariin aku yaa ? “. Refleks May menoleh dan tersenyum pada orang tersebut.”Eh, yaa gitu deh, kan kamu sendiri yang minta janjian disini”.  Ridho langsung mengajak Remay duduk di kursi yang tersisa. Maypun memulai diskusi dari BAB ke BAB hingga keduanya mulai bosan. “May, makasih ya udah mau bantuin aku”. Ucap Ridho sembari menyuguhkan minuman yang baru saja dibelinya untuk May. “Sama-sama, aku juga seneng kok bisa bantuin kamu”. Balas May dengan senyum ramahnya, agak lama May menatap wajah laki-laki didepannya tersebut. May mengagumi raut yang menyiratkan kedewasaan yang bijak, meski sedikit cerewet jika didepan teman-temannya selain May. Selain May ? ya, entah mengapa laki-laki tersebut seolah selalu menjaga imagenya jika sedang berhadapan dengan Remay. “Hey ! kenapa menatapku seperti itu, ada yang aneh ?” gertak Ridho sembari melambaikan telapak tangannya didepan wajah gadis berambut ikal tersebut. “Ehh, eng..gak ada kok”, balas May dengan wajah yang bersemu merah. “Yasudah kalau gitu, bentar lagi bel masuk kelas”. “Mmm iya, oke aku duluan ya”, May segera beranjak dari tempat duduknya, dan segera meninggalkan kantin. “May..” Ridho menyeru membuat May berbalik menatap Ridho. “Kapan-kapan, bisa luangkan waktumu untuk mengajariku lagi ?”. May hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.
“Ayo May, Dewi , keburu tutup nih toko bukunya”. Ayu mengomeli teman-temannya yang tak segera bergegas. “Hi May, m..mau pulang bareng aku gak ?”. Ajak Ridho tiba-tiba. Ayu dan Dewi saling memandang, seolah mengerti apa yang harus mereka lakukan. “mm..tapi aku har..” Dewi segera memotong jawaban Remay, “Ayu bisa ditemenin sama gue aja kok, mendingan May pulang duluan aja sama Ridho”.
“Mm..kok Ridho tumben mau nganter May pulang ?”. May melontarkan pertanyaan demi memecah keheningan antara mereka. “Gak papa,a..aku baru tau kalau rumah kita ternyata searah”. Nampak nada grogi dari pria yang membawa Remay dengan motor ninja berwarna merah tua. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiam sepanjang jalan, rasa canggung mematikan sifat cerewet Ridho dan keramahan Remay.
Pagi ini ada pertandingan futsal antar sekolah, Remay bersemangat karena ada Ridho yang ikut bermain bersama tim dari sekolah mereka. “May liat, Ridho ngeliatin kamu” ujar Ayu sembari mengajak May untuk duduk disebelahnya. “Apaan sih yu, disini gak cuma ada aku kali”. Jawab May yang sepertinya berlawanan dengan pendapat dari hatinya. Pandangan May tak lepas dari Ridho yang saat itu mengenakan jersey berwarna orange  yang senada dengan sepatunya dan handband merah dilengan sebagai tanda bahwa ia adalah kapten dari tim tersebut. Masing-masing tim sedang bersiap, masih ada waktu beberapa menit sebelum pertandingan dimulai. Namun tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menarik tangan May dan membawanya keluar dari kursi penonton. “Ikut aku sebentar” kata laki-laki yang tak dikenal oleh May tersebut. ”H..hey, lepas !”, bentak May setelah lelaki itu berhenti melangkah. May sama sekali tak mengenalnya, laki-laki berkulit putih dengan mata sipit dan rambut lurus berponi, tinggi May hanya sebatas bahu laki-laki tersebut. Tapi ada yang May kenal, seragam yang dikenakan oleh laki-laki itu adalah milik sekolah yang saat ini menjadi lawan pertandingan untuk sekolah May. “Siapa kamu ? tidak sopan, menarikku seolah aku ini..”. “May, maafkan aku” omelan May terhenti oleh suara lembut yang berasal dari laki-laki tersebut. May terhenyak karna namanya disebut, ‘siapa laki-laki ini, mengapa dia mengenaliku’. “Jadilah pacarku May” tanpa basa-basi, laki-laki ini menyatakan perasannya pada May. “Apaa ?, mengenalimu saja tidak, bagaimana mungkin aku..” May menatap mata itu dengan tegas, cahaya sendu dari kedua bola laki-laki itu merasuk menuju palung hati May. Entah bagaimana ada butiran bening yang tiba-tiba terjatuh dari pelupuk May. Membuat tangan May yang masih berada dalam genggaman tangan laki-laki itu menjadi kian gemetar. Sedetik, dua detik, kedua pasang bola mata yang sama-sama  memancarkan masa lalu dengan segenap kesedihannya kini semakin pilu. Teriakan-teriakan supporter futsal hilang, lenyap menjadi sunyi yang mengiris jiwa.
***
Tiga tahun yang lalu, May adalah seorang siswi SMP yang cerdas, dengan segenap prestasi yang diwakilkan oleh sederet piala yang tertata rapih dibalik lemari kaca milik kedua orang tuanya. Tak cuma cerdas, tentu saja May adalah seorang perempuan yang cantik. Cantik parasnya, cantik pula akhlaqnya. Dimana banyak lawan jenis yang terkagum-kagum akan keberadaannya. Namun May masih belia, usianya baru 13 tahun saat duduk dikelas dua. Sedikitpun May tidak pernah memikirkan tentang cinta monyet yang mudah saja ia dapatkan. Namun pemikiran itu berubah, ketika seorang siswa baru yang duduk dibangku sebelah May melempar senyum yang membuat hati siapa saja yang melihatnya leleh bak lilin termakan api.
Saat itu adalah  pertama kalinya May dekat dengan seorang laki-laki, May mulai asyik mengobrol, membicarakan dunia luar yang belum bisa mereka temui. Roy namanya, May mendapat banyak pengalaman dari cerita-cerita Roy yang memang kerap berpindah-pindah tempat tinggal karena pekerjaan Ayahnya. Kini May lebih sering menghabiskan waktu di sekolah dengan Roy dibanding dengan teman-teman wanitanya. Teman laki-laki May pun tak sedikit yang memandang sinis kepada Roy perkara cemburu monyet.
“May, aku ingin tetap ada disini. Disebelah kamu, bercerita banyak tentang dunia, tentang hidup, tentang apa yang selalu dilakukan oleh orang dewasa.” Roy tersenyum kepada May yang sedang duduk disebelahnya, sembari menikmati pemandangan bunga anyelir yang terhampar bak lembaran kain besar berwarna putih. “Lakukanlah Roy, tetaplah disini dan jangan pergi. Karna meskipun kamu pergi aku akan datang lagi ketempat ini untuk menunggumu” Remay membalas senyum dan menatap mata Roy dengan tulus. Angin dari bukit menyibak jajaran bunga anyelir yang menangkap terik cahaya matahari. May duduk dengan nyaman bersama Roy dibawah pohon beringin yang tumbuh besar bak payung melindungi mereka dari panasnya sang jingga. Menikmati bukit anyelir, May bahagia mengenal Roy, yang membawa ribuan anyelir singgah di hatinya. “May, maukah kau berjanji padaku satu hal ?”, Roy menatap May serius. “Tentu, apa itu Roy ?”. “Berjanjilah padaku jika kita dewasa nanti kau akan bersedia menjadi pacarku dan menemaniku untuk waktu yang sangat lama”. Roy mengangkat kelingkingnya. “Baiklah, aku berjanji Roy jika kaupun begitu” May mengaitkan kelingkingnya di kelingking Roy, dan siang itupun mereka membuat sebuah janji, yang akan segera mereka tepati.
***
May masih menatap mata laki-laki yang ada didepannya saat ini, laki-laki itu membawa May keluar lapangan, menuju parkiran. Tanpa sepatah katapun May membonceng motor laki-laki yang akan membawanya ke suatu tempat. “Disini May, kita membuat janji dan disinilah akan kita tepati janji itu”. Laki-laki itu kembali menggemgam tangan May seolah tak ingin lagi berpisah dengan gadis pujaannya itu. “Roy..” Setelah sekian lama May tidak menyebut nama itu, ia sebut nama Roy ditempat yang sama dengan keadaan yang berbeda.”kamu datang terlalu lama. Aku bahkan sudah melupakan janji yang kita buat, setelah kamu pergi entah kemana meninggalkan ku tanpa pesan. Kamu memang sempat membuat aku menunggu seperti yang aku janjikan. Tapi aku sadar itu seharusnya tidak aku lakukan ketika kamu pergi tanpa ucapan selamat selamat tinggal.” Di wajah mulus May mengalir air mata yang selama tiga tahun berusaha May tahan. “May maafkan aku. Aku pergi bukan tanpa alasan. Aku pergi tanpa sempat memberitahumu bahkan ucapan selamat tinggal, itu karena...” Roy terdiam sejenak, menghela napas panjang. “Ibuku meninggal satu bulan yang lalu, semua berawal di malam setelah kita membuat janji dibukit ini. Malam itu ibuku jatuh pingsan, tanpa kita tahu penyebabnya. Aku dan ayah membawanya ke rumah sakit terdekat, hingga kita mendapat kabar yang amat mengejutkan.” Mata Roy mulai berkaca-kaca “Ibuku mengindap leukemia, tanpa memberitahu siapapun. Hingga sakitnya bertambah parah pada saat itu, dokter menyarankan agar kami membanya ke singapura untuk pengobatan lebih lanjut. Tanpa berpikir lagi, malam itu juga kami pergi dari sini. Itulah sebabnya bahkan mengucapkan selamat tinggalpun aku tidak punya waktu May. Lama kami tinggal disana dengan pengobatan ibu yang terus berlanjut. Hingga akhirnya, ibu menyerah.” Cairan bening mulai membasahi mata Roy. “Sudah Roy, aku mengerti semuanya sekarang” Kali ini May balik meggenggam tangan Roy, berusaha menenangkan. “Aku kembali untukmu May, aku berharap kamu mau memaafkan setelah apa yang kuperbuat.” Roy beranjak memetik satu anyelir “Aku tau kamu tidak pernah melupakanku May, anyelir-anyelir dipelataran rumahmu pasti selalu berbicara tentangku. Sengaja kau tanam untuk terus mengingat kisah kita bukan ? aku tidak ingin lagi kehilangan orang yang aku sayang dalam hidup ini May, jadi mulai sekarang, aku berjanji tak akan pergi meninggalkanmu lagi May. Maafkanlah aku.” Roy memberikan sebatang anyelir itu kepada May. “Aku tidak pernah membencimu Roy, itulah yang membuatku sakit selama ini. Apa yang telah kamu lakukan, aku tidak pernah membencinya. Aku justru merindukanmu Roy.” May tertunduk memandangi anyelir ditangannya. “Aku sangat menyesal May, maafkan aku” Roy memeluk wanita yang amat ia sayangi. Dan tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menyaksikan kebahagian mereka dibalik pohon beringin lainnya.
-------o-------
                                                                                                            By : Z

Aku Mencintaimu, Adela



M
atahari pagi yang indah, perlahan mulai naik dari ujung jalan. Sorot cahayanya jatuh tepat dipelupuk mataku. Titik-titik air diatas daun jambu mulai hilang ditelan cahayanya. Pagi ini aku berjalan sendiri, menuju bangku di taman yang terletak di ujung gang. Taman yang menyimpan sejuta cerita, cerita yang kini hanya tinggal kenangan. Setiap bagian dari taman ini, telah menjadi saksi bisu dari setiap kebahagian yang sempat dianugerahkan kepadaku.
            Terakhir kalinya ditaman yang penuh warna ini, kami duduk dibangku bercat biru muda. Aku bersama dua orang yang teramat berarti dalam hidupku. Sahabat, serta laki-laki yang aku cintai. Tapi kini, hanya aku sendiri diantara bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran. Dengan tatapan kosong, kenangan-kenangan itu terus memenuhi isi kepalaku. Kupu-kupu dengan warna-warni sayap yang indah, tak mampu mengembalikan hatiku yang sedang remuk. Anak-anak kecil yang biasanya mampu menentramkan hati ini. Kini serasa hampa, tak kulihat sedikit pun titik kebahagian di sekelilingku.
            Satu tahun yang lalu, aku memang merasa sangat bahagia. Mendapat predikat sebagai lulusan terbaik dari Sekolah Menengah Pertamaku, membuat orang-orang terdekatku bangga. Terlebih lagi aku melanjutkan ke salah satu SMA favorit bersama sahabatku, Dira. Kami sudah dekat sejak pertama kali bertemu di SMP. Dira adalah seorang gadis yang hampir tidak pernah terlihat murung, selalu tersenyum dengan sekelilingnya. Meskipun terkadang dibalik senyumanya itu ada luka yang telah menyayat batinnya. 
Karena itulah kami begitu dekat, Dira tidak pernah membiarkan aku sendiri. Selalu ada untuk mendengar semua cerita serta berbagai keluhan yang terjadi padaku, selalu membuat aku tertawa disaat aku menganggap tak ada lagi yang lucu dihidup ini. Disaat aku menyerah dengan berbagai hal yang merobohkan semangatku, Dira membangun kembali semangat yang lebih kokoh. Mungkin, hanya Dira lah satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Bahkan lebih mengerti dari ke dua orang tuaku yang hanya memiliki sedikit waktu untuk anak semata wayangnya ini.
            Tapi aku tidak ingin terlalu sering mengeluh. Semua yang mereka lakukan adalah demi  kebaikan untukku. Aku selalu merasa beruntung karena masih punya dua orang tua yang selalu berusaha membuat aku bahagia. Meskipun mereka tidak tau, apa yang sebenarnya membuatku bahagia adalah apa yang tidak mereka berikan padaku.
***
            Pagi itu aku melihat pengumuman di mading sekolah baruku, aku tersenyum saat namaku Adela Fitri Annisa tercantum dalam satu kelas bersama Dira Maulani, sahabatku. Sepertinya tuhan telah menakdirkan kami untuk selalu bersama. Tuhan memang adil dengan mengirim malaikat seperti Dira.
            Sepulang hari pertama memakai seragam putih abu-abu, aku bersama Dira pergi ketaman favorit kami. Bunga-bunga ditaman ini, seperti tak pernah layu. Karena Dira, aku selalu menyirami mereka dengan kasih sayang. Disalah satu sudut taman ini, Dira pernah menanam beberapa batang bunga mawar merah, dan saat ini mereka sedang bermekaran. Dira bilang, mawar ini adalah mawar lambang persahabatan kita. “Disetiap pertemuan itu pasti ada perpisahan. Jika nanti seluruh kelopak-kelopak mawar ini berguguran, maka salah satu dari kita akan ada yang pergi jauh. Tapi kita harus selalu ingat, dimana ada mawar disitulah ada kita. Ada aku dan ada kamu.” Dira berkata dengan tatapan penuh makna.
    Hari berikutnya aku berangkat lebih awal. Karena pada hari ini aku diberi tugas untuk menjadi salah satu petugas upacara bendera yang selalu rutin dilakukan pada setiap hari Senin. Dira ternyata sudah berangkat duluan, karena Ayahnya sedang ingin mengantar untuk melihat sekolah baru Dira. Sesampainya aku disekolah, aku langsung berjalan menuju lapangan sekolah dengan sedikit terburu-buru karena upacara akan segera dimulai. Begitu sampai di salah satu simpangan koridor, aku menabrak seseorang hingga menjatuhkan semua barang yang dia bawa. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena masker yang dia kenakan, yang pasti dia adalah seorang laki-laki. Aku meminta maaf dan membantu membereskan semua barang yang berserakan. Tanpa membalas kata maaf dariku, laki-laki itu langsung pergi menuju ruang kesenian. Tapi ternyata, masih ada satu lembar yang tersisa dilantai, ketika aku mencoba mengambilnya, “Adela, ayo cepat upacaranya sebentar lagi  dimulai” Dira berteriak padaku. Setelah memasukkan selembar yang tersisa tadi kedalam tasku, aku langsung menuju lapangan upacara untuk melaksanakan tugasku.
“Uh, akhirnya selesai juga. Del, temani aku ke kantin yuk.” Dira lansung menarik tanganku tanpa menunggu aku mengiyakan ajakannya. Setelah beberapa menit disini aku mulai merasa risih. Karena laki-laki yang duduk berseberangan dengan Dira terus menatapi ku. Seperti pernah aku lihat, tapi lupa dimana. Setelah balik kuperhatikan, dia dengan cepat menghabiskan teh botol yang ada didepannya dan beranjak meninggalkan kantin.
Bunyi bel pertanda masuk sudah memenuhi tiap sudut sekolah, tepat saat aku dan Dira tiba dikelas. Aku sedikit kaget saat melihat laki-laki yang duduk disebelahku adalah orang yang sama dengan orang yang kutemui di kantin pagi tadi. Ternyata dia satu kelas denganku, mungkin dia baru memasuki kelas pada hari ini. Ada sedikit hal yang berbeda saat aku melihatnya, entah apa itu. Namanya adalah Arya, yang kutau dari guru saat mengabsen semua siswa.
Siang ini hujan cukup deras, tapi supir ku tak kunjung datang untuk menjemput. Sepertinya kali ini aku harus naik bus sendirian untuk pulang. Dira masih sibuk dengan kegiatan ekskulnya. Aku menunggu bus di halte depan sekolah yang sepi, hanya ada satu orang laki-laki yang sedang duduk di halte tersebut. Itu dia, aku bertemu dengan dia lagi. Arya, orang aneh di kantin yang ternyata adalah teman sekelasku. Ingin aku menyapanya, tapi dia terlihat sangat cuek. Apa dia tidak mengenaliku sama sekali. Akhirnya kami hanya terpaku, duduk bersebelahan sambil berharap, cepat-cepatlah bus datang menghampiri kami.
***
            Tiga bulan sudah aku menjalani hari-hari sebagai siswi putih-abu-abu. Tapi sampai sekarang, orang tuaku belum pernah sama sekali berniat untuk mengantarku ke sekolah. Jangankan itu, untuk sarapan saja mereka tidak pernah menemani ku dimeja makan sampai sarapan berakhir. Terkadang aku tak sanggup lagi untuk mengerti, menangis sendiri atau lari pada Dira. Satu-satunya orang yang bisa kusandari setiap saat.
            Selama tiga bulan ini aku tidak mengerti mengapa, aku banyak memperhatikan Arya dari kejauhan. Ternyata dia bukan orang yang pendiam seperti dugaanku. Dia banyak bicara, banyak bercanda. Tapi dengan teman-teman yang dekat dengannya, dan sepertinya tidak denganku. Kami hanya sering mengobrol seperlunya saja, dia laki-laki yang baik dan pintar bergaul dengan siapapun. Aku memang orang yang sedikit pendiam dan pemalu, terutama untuk dekat dengan seorang laki-laki. Sampai saat ini pun aku belum pernah merasakan suka pada lawan jenisku. Bukan berarti aku menyukai sesama jenis, aku hanya belum menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa berdebar saat bersamanya.   
            Hari ini cukup melelahkan, seharian aku berada di sekolah untuk menyelesaikan tugas yang membosankan itu. Kurebahkan tubuhku diatas kasur empuk yang kubalut dengan sprei berwarna pink. Kupejamkan mata, tapi tiba-tiba terlintas bayang wajah Arya. Mengapa akhir-akhir ini aku begitu banyak memikirkan orang itu, bahkan karena memikirkannya aku sampai lupa dengan masalahku sendiri, dengan masalah orang tuaku.  Aku juga menceritakan semua yang aku rasakan ini pada Dira. Tapi, Dira bilang bahwa aku menyukainya. Aku bahkan tidak tau rasa suka itu seperti apa, lalu apa yang membuatku menyukainya. Jika benar aku menyukainya, lalu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa diam memandangnya dari jauh.
            Pagi berikutnya, tak sabar rasanya ingin segera sampai di sekolah. Entah bagaimana bisa, semakin hari aku semakin sering memperhatikan dan mengingat Arya. Melihat dia seperti melihat kebahagiaan, ada rasa yang belum pernah aku alami sebelumnya. Bahkan ketika Arya ada didekatku, aku merasa deg-degan. Aku mengakui jika aku telah jatuh cinta kepadanya. Tapi aku memaksa Dira untuk merahasiakan semuanya, seakan tidak terjadi apa-apa.
            Dira memang sahabat yang selalu bisa membuatku bahagia, dia selalu mencari cara untuk mendekatkan aku dengan Arya.  Sore itu supirku tidak bisa datang untuk menjemput, dan akhrinya Dira meminta tolong pada Arya untuk mengantarku pulang. Akupun segera naik ke motor Arya, dan segera melaju menuju rumahku. Perasaanku sudah tidak dapat didefinisikan lagi, sedekat ini dengan orang yang membuatku jatuh cinta. Rasanya seperti bertemu dengan pangeran yang menjemputku dengan kereta kencana. Meskipun dia tidak tau bagaimana perasaanku saat ini, tapi dengan sikapnya yang lembut semakin membuatku jatuh cinta.
            Seiring terus berjalannya waktu, rasa yang kumiliki terus berkembang jauh. Semakin hari aku semakin sering ingin melihatnya, merindukannya jika sehari saja tidak bertemu. Bahkan terkadang sampai terbawa di dalam mimpi. Semakin hari kamipun semakin dekat, tertawa bersamanya itu seperti membuatku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Apa aku benar-benar jatuh cinta pada laki-laki ini.
Semakin hari pun semakin banyak hal yang ingin kuketahui darinya, mulai dari latar belakangnya sampai siapa saja wanita yang sedang dekat dengannya. Belakangan ini aku tahu satu hal, ada seorang wanita yang kelihatannya dekat dengan Arya. Dia bersekolah di tempat yang berbeda, dari pencarian informasi yang dibantu dengan Dira, aku tau kalau wanita itu sudah dekat dengan Arya sejak mereka kecil. Dan sepertinya wanita yang kutau bernama Andin itu menyukai Arya. Tapi saat ini aku tidak tau sejauh apa hubungan mereka, sepertinya hanya sekedar teman. Karena Arya pernah berbicara pada temannya kalau dia tidak mempunyai pacar dan belum pernah mengalami pacaran sama sepertiku. Ya, aku terus berharap punya kesempatan untuk dekat dengan Arya.
            Tanpa sepengetahuanku, Dira ternyata tidak sengaja bilang kepada Arya bahwa aku memiliki rasa padanya. Dan hal ini membuatku sedikit kesal, aku malu dan aku takut. Bagaimana jika Arya menjauhiku, bagaimana jika Arya tidak merespon baik perasaanku ini. “Adel, maafin aku ya. Aku gak sengaja ngomong itu ke Arya, soalnya aku udah gak sabar pengen Arya sadar kalau ada cewek yang lagi nunggu dia, dan itu sahabatku sendiri. Aku gak mungkin biarin kamu mendem terus.” Dira meminta maaf tapi tidak merasa bersalah, aku masih diam tak mau berbicara.
            Benar seperti ketakutanku, sejak Arya mengetahui jika aku menyukainya kita malah semakin jauh, seperti memiliki batas. Cukup dekat dengannya saja aku sudah bahagia tanpa dia tau mengenai perasaanku, tapi Dira merusak semuanya. Aku sempat marah selama beberapa waktu, tapi mengingat Dira begitu berarti bagiku, aku memaafkannya.
            “Dira, bahkan untuk jatuh cinta padanya saja bukan pilihanku. Rasa itu yang datang tanpa aku buat-buat” seperti biasa aku menangis dibahu Dira, bersama seribu tanda tanya mengapa semua harus terjadi seperti ini. “Tenanglah Adel, namanya cinta itu gak selamanya punya jalan yang mulus. Terkadang salah satu dari dua orang yang sedang jatuh cinta harus rela melakukan sesuatu untuk kebaikan hubungan mereka. Saat ini Arya memang seperti menghindarimu, tapi belum tentu Arya tidak suka denganmu. Mungkin dia hanya kaget karena ternyata teman sekelasnya sendiri punya rasa yang spesial untuknya.”
            Aku sedikit tenang mendengar perkataan sahabatku. Aku hanya berharap, semoga saja sikap Arya akan kembali seperti semula setelah semua ini lama berlalu. Tapi, aku sendiri tidak bisa membohongi perasaan, rasa sesak karena Arya sedikit menghindariku terus menghantui. Serasa ingin berlari mengejar dan memeluknya, untuk mengatakan bahwa aku begitu takut jika ia pergi.
            Malam ini aku iseng mengirim SMS untuk Arya, untuk membuktikan apa Arya benar-benar membenciku atau hanya menghindar untuk sementara. Ternyata Arya membalas SMS dariku, awalnya kita membicarakan soal pelajaran. Tapi tiba-tiba Arya bertanya padaku “Del, apa benar yang dikatakan oleh Dira padaku ?” Serasa berhenti detak jantungku saat membaca pertanyaannya tersebut. Aku mengerti apa maksud pertanyaannya, namun aku ragu untuk menjawab. Tapi mau tidak mau, Arya butuh jawabanku dan aku butuh tau bagaimana respon Arya sebenarnya. Maka aku jawab “Iya Ar, benar. Aku suka sama kamu.” Gelisah rasanya aku menunggu balasan dari Arya, tapi sedikit lega karena aku berhasil membuat Arya tau langsung dariku sendiri. Handphoneku berdering, balasan yang cukup lama pun akhirnya ku terima. Uh, balasannya pun hanya simbol tertawa, apa maksudnya. Aku tidak berani untuk menanyakan apakah dia suka padaku atau tidak, aku hanya bertanya apakah perasaanku ini mengganggunya. Lega hatiku saat dia menjawab “ini sama sekali tidak menjadi masalah bagiku, mana berhak aku melarang orang untuk menyukaiku, haha.”
            Sejak pengakuanku malam itu, hubungan kami berangsur-angsur menjadi biasa kembali. Meskipun masih ada sedikit rasa canggung atau malu. Tapi rasaku yang kian hari seperti kian dipupuk ini tak kunjung mendapat jawaban dari yang diharapkan. Sudah hampir satu tahun aku bertahan dengan lelaki yang membuatku selalu memikirkannya tersebut. Terkadang aku seperti diberi harapan, tapi tak kunjung menemui titik terang. Adakalanya dia memberiku perhatian lebih, tapi adakalanya pula dia menganggapku sama seperti wanita-wanita lain disekitarnya. Terkadang aku menganggap diriku bodoh karena meneteskan air mata hanya untuk laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggap ada perasaanku ini. Berkali-kali aku coba menyerah, melupakannya dan mengubur rasa ini. Tapi berkali-kali pula aku gagal, selalu kembali teringat , bahkan rasa ini semakin besar. Maka kubiarkan saja semua mengalir, tinggal menunggu ditempat mana aku akan bermuara. Ditempat indah yang aku mau, atau tak akan pernah bermuara dan terus mengalir sampai dimana aku tak tau.  
***
            Lusa adalah hari ulang tahun Arya, aku berencana ingin membuat sesuatu yang spesial untuknya. Aku dibantu dengan Dira ingin menyiapkan sebuah kejutan kecil-kecilan untuknya. Kami berdua membuat Cup Cakes kesukaan Arya, dan aku juga menyiapkan sebuah kado untuknya. Tinggal menunggu esok yang akan diwarnai senyum manis di bibir Arya.
            Pelajaran di jam terakhir memang selalu membuatku ngantuk. Tak sabar rasanya ingin cepat berahir, karena seusai ini aku akan melaksanakan rencanaku untuk memberi kejutan bagi Arya. Semoga dengan ini dapat membuat Arya sadar bahwa sampai sekarang pun aku masih menunggunya untuk berbicara, tentang kita.
            Persiapan untuk kejutan telah selesai, sekarang tinggal menunggu Arya memasuki kelas. “Taraa..Selamat ulang tahun…” Aku bernyanyi riang dengan tatanan Cup Cakes ditanganku. Aku melihat senyum malu-malu Arya yang membuatku semakin menyukainya. Sebelum dia meniup lilin yang berbentuk angka 14 itu, ia memejamkan matanya dan memanjatkan sebuah harapan kepada tuhan. “Arya taukah kamu, di depanmu saat ini aku pun sedang berharap, semoga rasaku yang semakin tak bisa kuhalau ini tidak akan bertepuk sebelah tangan.” Ungkapku dalam hati.
            “Selamat ulang tahun Arya, aku berharap kamu suka dengan semua ini. Dan ini adalah kado kecil dariku, semoga kamu juga suka” kataku sambil memberikan kado special untuknya. “terimakasih Adel, aku belum pernah mendapatkan kejutan semanis ini.” Balas Arya. Setelah beberapa detik terdiam, tiba-tiba Arya mengecup keningku. Aku hanya bisa tersenyum, senang sekali rasanya dia menyukai semua yang aku berikan dan untuk pertama kalinya memberiku sebuah kecupan manis.
              Tapi tak lama kemudian, datang seorang wanita yang sepertinya pernah aku kenal. Dia menghampiri Arya dan mengucapkan selamat ulang tahun sambil mencium kedua pipi Arya dan memeluknya. Lalu wanita itu memaksa Arya untuk pergi bersamanya. Arya bahkan tak sempat berbicara padaku, hanya menoleh untuk sesaat lalu pergi bersama wanita itu. Dia bernama Andin, teman kecil Arya yang memiliki rasa serupa  seperti yang kurasakan. Aku hanya berharap semoga saja Arya dan Andin masih berstatus sebagai teman, tidak lebih. 
            Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah dengan wajah yang sedikit murung, masih teringat bagaimana Arya meninggalkanku begitu saja bersama wanita itu. “Adel, maafin aku ya. Maafin aku soal kemarin” Tiba-tiba Arya datang padaku dan meminta maaf. “iya gak papa kok Ar, aku ngerti. Makasih ya kemarin sudah menyempatkan waktumu untukku” aku takkan bisa marah padamu Ar, kamu terlalu berarti bagiku.
            Sejak itu aku semakin sering melihat Andin bersama Arya, mereka sering terlihat jalan berdua di toko buku, restaurant dan beberapa tempat lain. Aku semakin takut, bagaimana jika aku memang tidak berarti apa-apa bagi Arya. Aku hanya terlalu berharap, harapan kosong dari Arya. Aku sempat menangis saat melihat Andin menggandeng tangan Arya, tapi aku tidak berani untuk muncul dihadapan mereka. Atau untuk sekedar bertanya pada Arya mengenai hubungan mereka. Aku hanya merasakan sakit ini berdua dengan sahabatku, Dira. Mungkin aku salah jika menganggap Arya bisa menjadi teman hidupku seperti Dira, bahkan lebih. Hanya dira yang sampai saat ini masih ada bersamaku dalam keadaan apapun. 
            Sore ini Arya mengajakku bertemu ditaman yang berada diujung jalan dekat rumahku. Beberapa waktu yang lalu aku, Arya dan juga Dira pernah bermain bersama ditaman ini. Arya bilang ada sesuatu yang ingin ia katakan. Aku tak mau berharap lagi, aku takut selalu jatuh dengan harapan-harapan palsu itu. Jangankan mengharap hal yang lebih, ulang tahunku yang jatuh pada hari ini pun Arya tidak ingat. Ah, jangankan Arya,  Dira  saja tidak mengatakan apapun.
            Sudah satu jam lebih aku menunggu, tapi Arya tidak juga datang. Arya tidak mungkin mengabaikan janjinya, selama ini ia adalah orang yang selalu tepat waktu. Perasaanku mulai tidak enak, nomornya pun tidak bisa kuhubungi. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja, karena langit sudah mulai gelap. Aku tidak mengerti, rasanya seperti sedang dipermainkan. Setega ini Arya padaku, apa dia lupa kalau aku ini punya rasa yang lebih untuknya, entahlah.
            Saat aku tiba didepan pintu, sudah ada orang yang sepertinya sedang menungguku. “Niken, tumben kamu kesini. Ada apa ? kok kamu terlihat sedih begitu ? ” Niken adalah teman satu kelasku, aku penasaran kenapa dia tiba-tiba datang dengan wajah muram seperti itu. Niken menjawab dengan terisak “Adel, ini ada titipan surat untukmu. Dari Arya.” Tiba-tiba saja tanganku bergetar menerima surat itu. Kenapa harus surat yang datang, kemana Arya.
            “Adel, aku harap kamu tabah ya. Ini berita duka untuk kita semua. Sore tadi Arya dan Dira kecelakaan motor saat akan menuju ke taman. Dan sekarang jenazah mereka sedang dalam perjalanan kerumah duka.” Aku hampir tidak sanggup untuk mendengarnya. Kakiku lemas dan terjatuh, setelah itu aku tidak ingat apa-apa.
            Karena itulah saat ini aku berada ditaman sendirian, tanpa sahabatku. Dira pun telah pergi, satu-satunya orang yang kuharap tidak akan pernah meninggalkanku telah lebih dulu pergi. Saat inilah aku memberanikan diri untuk membaca surat dari Arya yang belum sanggup aku buka.
“Dear Adela, maafkan aku atas semua kesalahan yang aku lakukan. Dira sudah menceritakan banyak hal tentangmu. Tentangmu yang setia menungguku untuk menjawab pertanyaan dari dasar hatimu itu. Maafkan aku del, aku mencintaimu. Aku hanya belum siap untuk mengatakan semua padamu. Dan hari ini adalah hari ulang tahunmu, selamat ulang tahun gadis manisku. Taukah kamu, selama ini aku selalu memperhatikanmu. Aku juga sempat ingin bertanya padamu, masihkah sama perasaanmu padaku seperti yang pernah kau bilang padaku dulu. Tapi aku hanyalah seorang pecundang Adela. Aku tidak punya cukup keberanian untuk itu. Dan soal Andin, aku hanya ingin berbaik hati padanya. Karena keluargaku sudah banyak berhutang budi pada keluarganya. Jadi mau tak mau aku harus menuruti kemauan Mamaku untuk bersikap baik padanya. Adela, sekarang semua itu tidak penting. Yang terpenting saat ini adalah, aku ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu, dan satu hal lagi. Maukah kamu menjadi pacarku Adela ?” Arya.”

                                                                                                By : Z

Sunday, June 7, 2015

Tebing Perbedaan



    Guncangan batin yang menyesakkan dada, mencabik  hati yang terasa pilunya. Dihadapan Bapak yang tampak begitu tak tenang menahan amarahnya,bantuan mamak masih bisa membuatku berdiri. Ruangan bercorak jawa yang damai, kini bertransisi mencekam layaknya sidang eksekusi.
Dimulai beberapa tahun yang  lalu, sejak awal kita merajut kasih, Mas Danu memang sudah menuturkan niat sucinya. Keseriusannya untuk mencintaiku akan membawanya masuk kedalam hidupku.


    Kami bertemu saat dibangku kuliah, ia yang menyukaiku terlebih dahulu berhasil membuatku jatuh hati padanya. Awalnya memang aku ragu menjalin hubungan dengan orang yang bersebrangan agama seperti Mas Danu, tapi rasa cintaku semakin besar dan tak terkendali lagi. Jalinan kisah ini terus berlangsung, hingga saat ini kami bekerja di perusahaan yang sama. Dan selama ini orang tua maupun keluarga besarku tidak satupun mengetahui tentang hubungan kami.

    Hingga tiba hari ini, saat aku memberanikan diri untuk membawa Mas Danu kehadapan Bapak.Pada awalnya Bapak memang merasa senang karna anak gadisnya yang dewasa telah ditemukan oleh sesosok laki-laki yang berniat membangun hidup baru bersama anaknya. Namun senyum ramah itu sekejap berubah kaku,mengumandangkan suara lantangnya “Bagaimanapun anda coba untuk menutup perbedaan itu. Tidak akan membuat saya merestui hubungan terlarang ini”  Bapak masih menahan kemarahannya dengan pergi meninggalkan ruangan yang mendadak muram.

    Semua membisu, Mamak meninggalakan kami berdua diruangan yang memiliki dinding berhiaskan ayat-ayat suci Al-Qur’an, belasan piala serta piagam-piagam kebanggan tertata rapi dibalik lemari kaca yang terawat, mawar putih yang semula segarpun kini telah sayu.Menjadi Saksi atas kediaman kami, biar hati yang saling bicara atas tibanya kekacauan ini.Sedikit demi sedikit air yang bermuara dipelupuk mataku perlahan jatuh menuruni wajah yang letih.Aku tertunduk lesu, kejadian yang sudah aku ramalkan benar terjadi.
    Mas Danu hanya bisa menatap penuh harap, wajahnya menyiratkan sebuah maksud. Membujukku untuk mencobakembali  memberi pengertian pada Bapak. Kami telah coba saling menguatkan perasaan masing-masing, disinilah akan datang klimaks dari serentetan rasa yang selalu digandrungi kekhawatiran.
    Selepas hilangnya bayang Danu diujung jalan, aku coba berbalik langkah dengan keberanian.Sesuai dengan tekad kami berdua, mencoba menyatukan rasa secara nyata.Dan kali ini masih giliranku untuk berjuang, mencoba meluluhkan hati Bapak dengan niat baik dari sosok pria yang teramat aku cintai.
    Namun keadaan benar-benar jauh dari harapan, Bapak masih diam terduduk diatas kursi rotan yang telah usang.Begitu senyap hingga hanya terdengar denting jam dinding yang menunjukkan waktu pukul 15.20 WIT. Aku yang tak lagi sanggup berdiri meski telah ditopang oleh mamak, berlutut lemas tepat dihadapan Bapak, “Pak, niat Mas Danu itu kan ndak main-main, dia akan bermualaf demi menuju ridho Allah untuk hubungan kami pak. Dengan tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat Naya pada Bapak, tolong Bapak pertimbangkan lagi niat tulus dari Mas Danu” aku terisak, tak sanggup rasanya menatap wajah Bapak yang selama ini selalu mendidikku dengan senyum dan kesabarannya,tapi  kini aku melawan keputusannya hanya demi rasa yang seharusnya tak pantas aku pertahankan.
    “Nduk, umur Bapak ini mungkin sudah tidak lama lagi. Bapak hanya ingin nanti akan ada laki-laki yang benar-benar bisa menggantikan posisi Bapakmu, yang bisa membimbingmu dengan ajaran yang benar nduk. Kamu liat sendiri to, sudah begitu banyak pengalaman yang kita saksikan, laki-laki yang berniat seperti itu biasanya tidak bertahan lama.”
    Aku tidak pernah melihat wajah Bapak yang menyiratkan kemarahan sedalam ini, bibirku bergetar tak mampu lagi menangkis petuah orang yang sangat aku hormati. Hatikupun berteriak menahan tangis, aku tak ingin sama sekali membuat orang yang teramat aku sayang murka padaku. Namun aku sendiri tak mampu melukai hati laki-laki yang aku cintai dan menyiksa perasanku sendiri.
**
    Suara gamelan jawa dari seberang jalan, beralun senada dengan gemuruh angin malam. Menyadarkan aku dari lamunan , segera saja kuangkat kaki menuju sumur, kuputar keran besi yang sedikit berkarat. Kubasuh anggota tubuh dengan air wudlu, dinginnya menyegarkan fikiranku yang teramat gaduh.
Kukenakan mukena putihku dan segera menghadapkan jiwa lusuhku pada Sang Maha Pencipta, mengadukan semua benang kusut yang tak mampu lagi aku luruskan.
    Sudah hampir sepertiga malam tapi mata ini belum juga mampu kupejamkan, kembali kubuka tirai jendela kayuku, kutatap langit dengan sendu “ya Allah, mengapa engkau ciptakan perbedaan, begitu rekatnya jalinan kasih kami, rasanya tak sanggup aku melepaskan diri dari dekap cintanya. Maafkan hambamu yang teramat lemah ini ya Allah”
    Kembali terfikir kata-kata Bapak sore tadi, sebenarnya aku juga sudah mengerti bahwa  bapak berfikir berdasarkan fakta. Pengalaman yang terjadi berulang kali dikisaran keluarga besar kami.Bibiku yang saat ini sudah berbahagia dengan keluarga barunya, dulu pernah dinikahi oleh laki-laki yang juga berbeda keyakinan dengannya.Karena kekuatan cinta mereka yang mempertahankan, sebelum mereka menikah laki-laki itu rela meninggalkan keyakinannya untuk menghapuskan perbedaan yang menghadang diantara mereka.Namun sampai pernikahan mereka berumur 1 tahun, laki-laki itu tak kunjung menyiratkan keseriusannya untuk menjalankan amanah Islam. Hingga akhirnya ia memilih untuk kembali lagi pada keyakinannya yang mungkin memang sudah tidak bisa lagi digantikan, mau tidak mau bibiku akhirnya memutuskan hubungan itu. Hatinya sudah ditipu oleh laki-laki yang ia harapkan dapat menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya, yang ternyata rela menyatukan keyakinan hanya untuk bisa menikahi dirinya, tidak didasarkan niat dari hatinya.
    Hal itu ikut dirasakan pula oleh sepupuku, hingga menimbulkan rasa jera dikeluarga besar kami.Begitu ada sanak saudara yang memperkenalkan pasangan dengan latar belakang keyakinan yang berbeda, mereka tak segan-segan menolak dan memutuskan hubungan terlarang itu. Seperti kesakitan yang aku alami saat ini, tak lama lagi akan  ada banyak sanak saudara yang mengetahui cobaan yang menimpaku. Ini karena kedekatan keluarga besar kami yang selalu terjaga, hingga tak satupun luput dari perhatian dan penjagaan keluarga besar.
    Namun semua itu tak juga mampu meluluhkan rasa yang sudah sejak lama terbangun ini.Hatiku tak sanggup menahan sakit karena aku tidak pernah mencintai laki-laki seperti bagaimana aku mencintai Mas Danu yang saat ini ada diambang ketidakpastian. Diapun begitu berarti hinggamembuatku  lupa pada pengalaman pahit yang terjadi dalam keluarga besarku. Aku sendiri entah bagaimana bisa sangat mempercayainya, aku yakin akan keseriusan Mas Danu dengan hubungan ini. Bukankah perbedaan itu dapat dilebur dengan rasa yang sakral dari dua insan yang terikat cinta.
**
    Aku memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi dengan kehangatan, bunga mawar berwarna putih berjatuhan diatas lantai yang bersinar, dibatasi dengan tirai-tirai bercahaya. Disudut ruangan aku melihat seorang laki-laki yang tak asing sedang asyik bercanda tawa dengan seorang anak kecil, mainan anak-anak berseraan disekitarnya.Anak laki-laki itu memanggil ku dengan sebutan bunda, dan laki-laki yang sedang memeluknya adalah laki-laki yang aku cintai, Mas Danu.Bahagianya aku saat itu, merasa mempunyai keluarga yang utuh bersama laki-laki yang telah membuat perasaanku tak karuan. Ketika ku coba menghampiri mereka tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara HPku yang berdering,ya Allah ternyata semua itu hanyalah mimpi yang aku harapkan bisa menjadi nyata dalam hidupku.
    Kulihat layar HPku yang tersurat sebuah nama pertanda ada yang menelfon, disana ada nama laki-laki yang telah menggores warna dalam hidupku. Ada sedikit keraguanku untuk menekan tombol telefon genggam  berwarna hijau, namun tak tega pula jika harus mengabaikannya. “Halo, selamat pagi Danu”, langsung kubuka percakapan lebih dahulu karena aku takut jika ia yang memulai maka aku tak akan sanggup untuk menjawabnya, mendengar suaranya saja kurasa sudah sangat menyakitkan. Dia yang kucintai tidak akan pernah bisa aku miliki dan memilikiku. “Pagi Naya, maaf pagi-pagi sudah menelfon.Aku ingin bertemu denganmu siang nanti, kuharap kau bisa datang ditempat itu.”Jawabnya dengan suara yang khas. Mungkin karena tidak ada jawaban, ialangsung memutuskan panggilan. Aku tak bisa berbicara karena air mataku yang telah berkata, menetes begitu saja tanpa permisi. Aku tau tempat yang ia maksud, tempat favorit kita berdua dimana selalu ada dia dan aku.
    Seusai melaksanakan sholat Dzuhur  aku langsung berpamitan pada Bapak, tentunya  tidak aku katakan jika akan bertemu dengan mas Danu, sudah pasti Bapak akan melarang. Untungnya bapak percaya jika aku akan pergi menemui teman sekantorku.
    “Assalamualaikum Dek Naya”.
Deg…bagaimana suara itu bisa  mengucapkan salam dengan fasihnya. “Dek, jawab dong”   Mas Danu memberiku kejutan besar, tak kusangka ia akan bermualaf  secepat ini. “Waalaikumsalam.”
Ya,Mas Danu telah menjadi seorang muslim setelah keluarganya beberapa kali mengingatkan bahwa tidak akan ada lagi pengakuan sebagai bagian dari keluarga jika ia berpindah keyakinan. Tapi Mas Danu mempercayai Allah sebagai tuhannya bukan hanya karna wanita, ia telah mempelajari banyak hal. Kedewasaannya saat ini memberi hak untuk dapat memilih sendiri jalan yang akan dia tempuh, meski harus berseberangan dengan keluarga tercintanya.
    “Mas, mengapa Mas bermualaf tanpa memberi tahu Naya terlebih dahulu.Mas kan bisa meminta Bapak untuk menjadi saksi dalam kesaksian yang teramat sakral itu.”
Aku hanya khawatir jika nanti Bapak tetap dalam pendiriannya.
“Tak apa, bukankah dulu Bapakpun telah menjadi saksi bermualafnya suami sebelum suami bibimu sekarang , tapi pada ahirnya laki-laki itu menghianati kesaksiannya sendiri bukan ? Bapak takkan pernah mau mengulang kesalahan yang sama.”
    Pernyataan Mas Danu membuatku berfikir keras, apa maksud perkataanya tersebut. “ Dek, maafkan Mas.”air mataku tak tertahan, mengalir begitu saja dihadapan laki-laki yang telah membulatkan sebuah keputusan. Mas Danu mengingatkan sederet kenangan terindah dari kebersamaan kami, ia tampak benar-benar akan mendokumentasikan semua itu dalam sebuah  album yang akan segera ditutup rapat.
Mas Danu, ia pergi begitu saja dan mengganggap aku akan bahagia dengan keputusannya tanpa bertanya sedikitpun pada hati yang bersangkutan. Semua indah memang, Mas Danu benar-benar mengislamkan dirinya karna Allah swt. Mungkin Sang Khaliq telah menyampaikan pesannya, pesan jika memang kami hanya ditakdirkan untuk menyimpan rasa terindah ini dalam waktu yang sangat sementara.Mas Danu tak ingin memaksakan kehendaknya,ia pun harus benar-benar belajar dengan jalan hidupnya saat ini. Hujan pagi tadi menyisakan bening air diatas segarnya dedaunan, sekarang hanya tinggal seorang Naya yang ditemani mawar putih pemberian terahir dari laki-laki yang kini melangkah untuk menjauh.
                                                                                                                            By : Z